CATATAN KHUSUS --- Prof. Dr. Hasjim Djalal adalah lulusan University of Virginia, Amerika Serikat (AS) pada 1959 dengan penelitian atas Timur Tengah dan negara berkembang dalam disertasi berjudul Eisenhower Doctrin in The Middle East. Keberadaan Hasjim untuk mengenyam pendidikan di AS adalah atas usaha sendiri dengan biaya sendiri pula dengan bekerja serabutan di perkebunan maupun restoran di negeri Paman Sam tersebut.
Prof. Dr. Hasjim Djalal
Konsep perjuangan dan cara pandang akan wawasan Nusantara sudah lahir sejak 1957. Kala itu, keadaan negara memang sedang dalam pergolakan hebat. Terjadi hal-hal yang mengganggu ketenangan dirinya dalam belajar di luar negeri. Gerakan-gerakan kedaerahan yang menimbulkan konflik bersenjata di Sumatera, Sulawesi, dan lain-lainnya di Indonesia sudah melibatkan kekuatan-kekuatan asing. Salah satu contoh kala itu adalah di Sulawesi Utara, ada kapal terbang AS yang kemudian melakukan tindakan-tindakan militer.
“Saya tidak bisa menghubungi keluarga di dalam negeri karena kendala komunikasi maupun kendala-kendala politis akibat konflik,” kenang Hasjim. Namun dari keadaan itulah muncul cara pandang wawasan Nusantara dari dirinya dengan sebuah kalimat pertanyaan how to identify Nusantara? Sampai akhirnya membawa dirinya bersama Mochtar Kusumaatmadja menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah Deklarasi Djuanda.
Perjuangan Hasjim Djalal bersama Mochtar Kusumaatmadja dalam memperjuangkan wawasan Nusantara sejak Deklarasi Djuanda pada Desember 1957 terus berlanjut. Tercatat untuk Hasjim seorang diri saja, ia sudah mengemban tugas negara dengan berkeliling ke 82 negara di seluruh benua dunia demi menegakkan wawasan Nusantara Indonesia di mata dunia. Mulai dari ke negara-negara baru di kawasan Afrika yang tidak mengerti akan hukum laut karena tidak memiliki wilayah laut, sampai ke negara-negara Amerika Selatan yang sudah memiliki doktrin teritorial batas laut sejauh 200 mil dan dikenal dengan ECP Countries, yakni Ekuador, Chili, dan Peru.
Salah satu kenangan tak terlupakan bagi Hasjim adalah saat ia beserta delegasi Indonesia menghadiri Konvensi Hukum Laut di Jamaika pada 1974. Kapasitas kehadiran delegasi Indonesia adalah memperjuangkan wawasan Nusantara sebagai sebuah kesatuan utuh tak terpisahkan, serta tidak dikurangi sedikitpun. Awalnya, Inggris mengusulkan maksimum hanya boleh 24 mil saja, dan Indonesia menolak mentah-mentah batasan laut seperti itu. Indonesia ingin semua tergantung pada kepentingan serta keadaan geografis Indonesia.
Lalu, AS mengusulkan naik menjadi 24 mil, dilanjutkan Inggris dengan 48 mil, bahkan sampai tahapan 80 mil saja Indonesia masih menolak mentah-mentah usulan negara-negara tersebut. Sampai suatu ketika, disebabkan kebuntuan tersebut, diadakan kembali Internal Discussion antara kedua negara tersebut dengan Indonesia. Di situlah, Indonesia melalui Hasjim Djalal, menegaskan dengan keras bahwa Indonesia bukan datang untuk mendiskusikan kepentingan AS dan Inggris, melainkan untuk mendiskusikan kepentingan Indonesia, yaitu menegakkan wawasan Nusantara bagi dunia internasional. Jika kepentingan AS dan Inggris adalah untuk kebebasan pelayaran kapal dan lain sebagainya, itu dianggap Indonesia sebagai kepentingan mereka berdua dan bukanlah kepentingan Indonesia.
Akibat perkataan itu, delegasi AS melakukan walk out dari ruangan. Saat itu, Mochtar Kusumaatmadja panik, lalu mendatangi Hasjim sambil bertanya, apa yang sebenarnya dikatakan Hasjim sehingga membuat berang delegasi AS tersebut?
“Saya santai katakan kepada Mochtar bahwa kebetulan saya orang Padang. Jadi, saya hanya menggunakan cara negosiasi orang Padang, yaitu dengarkan terlebih dahulu serta hargailah pendapat semua orang. Tapi, sebisa mungkin pendapat kami yang digunakan pada akhirnya,” begitu jawab saya kepada Mochtar. Ia dan Hasjim akhirnya hanya tertawa berdua. Mendengar seloroh Hasjim, seluruh ruangan Kuliah Umum dan Seminar Wawasan Nusantara di Museum Nasional Jakarta, Sabtu (17/12/2016), sontak tertawa geli.
Kisah-kisah bagaimana perjuangan seorang Hasjim Djalal bersama rekannya Mochtar Kusumaatmadja dalam menegakkan sekaligus menginformasikan cara pandang bangsa Indonesia akan wawasan Nusantara seharusnya bisa melecut seluruh bangsa Indonesia untuk memahami wawasan Nusantara itu sendiri sebagai satu kesatuan utuh yang meliputi seluruh wilayah mulai sejauh mata memandang di atas bumi, ke bawah bumi Indonesia, sampai ke atas langit Indonesia. Perjuangan Hasjim bahkan sudah mencapai menuntut hak Indonesia hingga GSO atau Geo Stationary Orbit ke PBB. GSO maksudnya adalah selama orbit di angkasa tetap berputar mengikuti bumi dan tetap berada di atas daerah tertentu. Jaraknya bisa mencapai 13.000 kilometer. Banyak satelit menggunakan fungsi tersebut dan negara-negara di Pasifik Selatan serta negara lainnya sudah menggunakan fungsi satelit untuk hal tersebut (GSO).
Namun, wacana itu akhirnya mentah, karena Indonesia menyadari, pesawat terbang yang dimiliki saja, seperti pesawat tempur Indonesia yang ada, baru bisa mencapai ketinggian 60.000 kaki dari permukaan tanah. Lalu, bagaimana bisa mencapai 100 mil ke atas atau sampai 13.000 kilometer ke atas untuk memenuhi standar GSO tersebut? Ternyata, pertanyaan how far can you go and control up there? menghentikan Indonesia memperjuangkan hal itu di tengah jalan.
Oleh karena itulah, berdasarkan kisah sejarah perjuangan menegakkan sekaligus mempertahankan wawasan Nusantara yang sudah dilakukan selama ini, tugas para generasi penerus bangsa tinggal bagaimana mempertahankan wawasan Nusantara atau melanjutkan wawasan Nusantara tersebut menyentuh batas maksimum yang diinginkan seluruh bangsa Indonesia sejak dahulu.
“Intinya adalah dahulu saya katakan dengan tegas kepada dunia bahwa laut ini punya kami sehingga ada kepentingan dan hak kami di situ. Namun begitu, seluruh samudera di dunia ini juga ada kepentingan kami di sana, jadi harus kami perjuangkan juga sampai titik darah penghabisan. Sudah tugas generasi sesudah kami untuk memanfaatkan dan memelihara semua itu untuk kepentingan NKRI dan seluruh bangsa Indonesia, tetap utuh dalam wawasan Nusantara untuk sebesar-besarnya digunakan bagi kemakmuran rakyat Indonesia,” lanjut Hasjim.
Lanjut Hasjim, jika generasi sekarang mampu berpikir sejauh kami dan lebih jauh dari kami, yakinlah bangsa Indonesia akan terbang jauh di atas bangsa-bangsa lain di dunia ini. Yakinlah bangsa Indonesia bukan hanya menjadi bangsa dengan negara yang selalu ribut sendiri di dalam negeri. Melainkan menjadi bangsa yang tekun dalam berusaha serta berjuang tanpa tergoda hal-hal yang tidak relevan bagi perjuangan.
“Generasi muda juga harus memahami relevansi hal-hal yang dilakukan, terutama jka menyentuh cara pandang akan wawasan Nusantara yang harus memiliki visi tiga dimensi tersebut,” pungkas Hasjim.
sumber:cendananews.com